CERPEN TEGUHT
BY TEGUHT
Malam yang naas bagi Sukro. Dia
terkepung dan tidak bisa lari ke mana‑mana lagi. Pandangan matanya silau oleh
sorot lampu‑lampu senter para pengepungnya. Antara rasa ngeri dan putus asa, ia
mengharap pertolongan Tuhan di malam itu. Antara rasa ngeri dan putus asa, ia
masih sempat memikirkan keadaan istrinya. Wanita itu tergolek tak berdaya di
rumah sakit karena terdapat kelainan pada kandungannya. Dokter mengatakan harus
dilakukan pembedahan.
Sukro mengharap Tuhan memaklumi dan
memaafkan kejahatannya di malam itu. Ia mencoba mencuri sepeda di kampung
tetangganya ini, namun tidak berhasil karena kepergok. Oh Tuhan, ini
terpaksa kulakukan demi istriku, keluhnya dalam hati.
“Modar kowe saiki! Mau lari ke mana
lagi, ha?!”
“Ayo kita cincang dia sekarang!”
Sukro menatap wajah‑wajah
pengeroyoknya dengan tatapan nanar. Hatinya gentar. “Ampun, pak. Saya terpaksa.
Baru sekali ini saya berbuat. Istri saya perlu biaya di rumah sakit,” ia
mencoba memohon belas kasihan dari mereka.
“Aaass, tiada maaf bagimu!” sahut
salah seorang dari mereka.
“Dia ini pasti yang sering mencuri
di tempat kita,” tuduh yang lain. “Sekarang lagi apes kowe, ya!”
“Ayo sikat!” Tiba‑tiba ada yang
mengomando. Segera saja tubuh Sukro mendapat gebukan bertubi‑tubi. Kepalan‑kepalan
tinju, tongkat, pentungan, tendangan, bahkan batangan besi panjang berganti‑ganti
mendarat di tubuhnya. Bak‑buk! Bak‑buk! Dari kepala sampai kaki mereka
menghajarnya. Massa yang beringas. Saat itu dalam pandangan mereka barangkali
Sukro bukan lagi ‘manusia’. Tapi ia tak beda dengan nyamuk, kecoak atau tikus.
Ia seperti binatang menjijikkan yang harus dipithes!
Sukro merasakan tubuhnya remuk‑redam.
Pandangannya berkunang‑kunang. Dengan penuh semangat mereka menggebukinya
sampai berkeringat. Ia sendiri juga berkeringat karena menahan rasa sakit. Tapi
keringat yang bercampur darah.
Di malam itu para pengeroyoknya
merasa bahwa mereka punya hak untuk langsung memvonis Sukro. “Ayo sekarang kamu
ngaku, kamu tho yang selama ini sering mencuri di kampung ini?!” Seorang
laki‑laki kekar menarik kerah bajunya dan menginterogasi. Sementara massa
berhenti memukulinya.
“Ayo ngomong!” hardiknya sambil
mengguncang‑guncang tubuh Sukro. Sukro mencoba mengumpulkan kesadarannya. Ia
ingin bicara tapi bibirnya pecah dan beberapa buah giginya rontok.
“Ampun, pak. Bukan saya…,” kata
Sukro dengan terengah‑engah.
“Mau ingkar, ya?! Nih rasakan!”
sebuah bogem mentah mendarat di pelipisnya dan membuat Sukro mencelat. Ia
menggeliat di bawah kaki mereka, berusaha untuk bangun. Lalu ada seorang pemuda
menarik lengannya. Ia menahan tubuh Sukro yang berdiri terhuyung‑huyung. Lalu
tiba‑tiba ia melepaskan pegangannya dan secepat kilat melakukan tendangan
putar. Sekali lagi Sukro terjerembab karena menjadi korban uji coba tendangan
putar dari pemuda yang baru saja lulus ujian sabuk hijau tadi.
Beberapa tangan segera menariknya.
Belum sampai berdiri, kembali ia dihajar bertubi‑tubi. Sukro tak kuat lagi
menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya, bahkan ia sudah hampir putus asa
untuk tetap bisa hidup setelah ini. Tapi di dalam benaknya ia masih belum
berhenti minta ampun kepada Tuhan. Kalau memang ia harus mati, biarlah, asal di
akhirat nanti ia tidak mendapat siksa lagi.
“Sudah! Sudah!” akhirnya ada yang
memberi komanda untuk berhenti. “Sekarang kita bawa dia ke rumah Pak Erwe.”
Lalu beramai‑ramai mereka menggiring
Sukro yang babak belur itu. Setelah sampai mereka menceritakan kejadian tadi
kepada Pak Erwe.
“Siapa nama kamu?” tanya Pak Erwe.
“Jadi sekarang kamu ngaku nggak
kalau kamu itu maling,” desak Pak Erwe kepada Sukro.
“Iya, pak,” sahut Sukro lirih. “Dan dia
itu pasti maling yang sering beraksi di kampung kita ini, pak!” langsung
disambung oleh salah seorang penangkapnya.
“Benar?” selidik Pak Erwe.
“Tidak, pak. Baru sekali ini karena
istri saya butuh biaya untuk melahirkan,” ungkap Sukro.
“Ah, itu kan alasan saja!” sangkal
salah seorang dari ‘penonton’.
“Jadi kamu bukan yang sering mencuri
di sini?” tanya Pak Erwe.
“Bukan, pak. Saya baru pertama kali
ini.”
“Baiklah, akan kita serahkan orang
ini kepada polisi,” putus Pak Erwe.
“Tunggu dulu, pak. Persoalannya
harus jelas, kita harus tahu siapa yang sering mencuri di kampung kita ini!”
cegah Bendhul, salah seorang pentholan pemuda di kampung itu. Sementara teman‑temannya
yang lainpun mendukung.
“Iya, pak. Agar masyarakat kita
tidak resah lagi. Kita harus dapat mengungkapnya.”
“Barangkali pengakuannya itu hanya
dibuat‑buat saja supaya kita kasihan.”
“Coba sekali lagi kamu katakan
dengan jujur. Kamu ngaku saja. Kamu sering mencuri di sini, nggak?!” Pak Erwe
kembali menanyainya.
“Sumpah, pak. Saya baru sekali ini,”
bantah Sukro.
“Brengsek kamu ya!” Tiba‑tiba
Bendhul menarik kerah Sukro dan menempelengnya.
“Bendhul! Sudah!” Pak Erwe merasa
tersinggung atas perbuatannya itu yang dianggap meremehkan kewibawaannya.
Sementara Bendhul yang masih meluap‑luap emosinya dipegangi oleh orang‑orang
di sekitarnya.
“Pak Erwe, kita harus selidiki siapa
tahu dia punya kawanan,” kata Bagong.
“Ah sudahlah, itu biar jadi
urusannya polisi saja. Lagi pula kalian kan sudah menghajarnya sampai babak‑belur
begini. Itu namanya kalian sudah main hakim sendiri. Nah, Ahmad dan Rijal,
kalian berdua ikut saya mengantar orang ini ke kantor polisi. Baiklah bapak‑bapak
dan saudara‑saudara sekalian, masalah ini kita tuntaskan dulu sampai di sini
karena malam sudah larut dan esok hari kita masing‑masing punya tugas
yang harus dikerjakan. Selamat malam,” akhirnya Pak Erwe membubarkan acara
interogasi itu.
Mereka pulang dengan pikiran dan
perasaan masing‑masing. Ada yang merasa lega karena malingnya tertangkap. Ada
juga yang merasa menjadi hero. Tapi ada pula yang masih penasaran seperti
Bendhul dan Bagong. Masing‑masing punya cerita untuk esok harinya.
Sukro yang malang kini meringkuk
dalam tahanan. Sebuah pekerjaan yang sia‑sia. Bebannya kini bertambah berat.
Bagaimana ia harus mencari biaya untuk operasi istrinya? Tubuhnya saja sudah
hancur. Belum lagi hukuman pengadilan yang nanti harus dijalaninya. Kuat
pulakah istrinya nanti menanggung aib ini di tengah masyarakat? Otaknya tak
kuat lagi memikirkan itu semua, ia hampir putus asa.
Oh Tuhan…, suara batinnya tercekat. Hampir
saja ia menuduh Tuhanlah dalang dari peristiwa ini. Seandainya dia tidak
miskin atau seandainya tidak ada kelainan di kandungan istrinya.
Untunglah masih ada sepercik iman
yang tersisa di kalbunya. Masih cukup kuat untuk mencegahnya bunuh diri.
Di lain pihak, Pak Erwe termenung
memikirkan kejadian semalam. Biasanya dia sendiri juga ikut menghajar kalau
ada maling yang tertangkap basah seperti si Sukro itu. Tapi tadi malam sebelum
Sukro digelandang ke rumahnya, tiba‑tiba ada sepercik kesadaran di hatinya.
Tentang apa saja yang telah dikerjakannya selama ini. Ia yang tidak peduli
dalam mencari nafkah, halal atau haram. Korupsi, kolusi, manipulasi… semua
pernah dilakukannya.
Ia tahu perbuatan seperti itu sangat
tercela dan berdosa. Tapi di jaman ini bukan dia sendiri yang begitu. Hal ini
sudah umum, lumrah. Orang‑orang yang berusaha untuk jujur sudah langka. Dan
kalau ada, mereka sulit untuk berkembang dalam kehidupannya. Bukankah hidup di
tengah masyarakat, kita harus punya prestise agar dihargai?
Tapi tadi siang hampir saja ia tewas
digilas oleh truk ketika sepeda motornya selip di tengah jalan. Untunglah
tubuhnya terguling di kolong truk itu, di antara roda‑rodanya. Ia selamat dan
sepeda motornya juga selamat karena terseret aspal ke tepi jalan. Ia dan sepeda
motornya tidak tergilas oleh truk itu!
Kejadian itu berlangsung di depan
sebuah masjid tepat pada saat adzan zuhur. Sebagai ungkapan rasa syukurnya ia
mampir ke masjid itu untuk menghadap kepada Allah. Ketika itu ia begitu takut
pada kematian. Dalam doanya, ia sampai bercucuran air mata karena haru dan
syukur. Peristiwa itu telah membuatnya berpikir pada malam harinya. Ia merasa
malu kepada Tuhan. Ia juga malu kalau ada orang lain yang mengetahui
perbuatannya selama ini. Bahkan ia juga malu terhadap teman‑temannya yang sama‑sama
koruptor atau pernah diajak kolusi.Lalu datanglah Sukro yang digi‑ring oleh
orang banyak ke rumahnya. Sukro yang maling sepeda itu. Baru sekali mencuri
tapi apes nasibnya. Menatap Sukro seperti menatap bayangannya di cermin. Tapi
Sukro terlalu bagus untuk jadi bayangannya! Apalagi ketika benar terbukti istri
Sukro menjalani bedah caesar di rumah sakit. Sukro mencuri karena
terpaksa. Sedangkan dia, dia mencuri karena merasa masih kurang dan dengan cara
yang lebih licik.
Sementara itu Bendhul dan Bagong,
dua orang di antara pentholan pemuda kampung itu, menjalani hari‑harinya
dengan biasa. Mereka tak punya pekerjaan tetap selain berjudi dan teler. Kadang‑kadang
jadi makelar di antara teman‑temannya. Tapi lebih sering mereka mencuri ke kampung
tetangga atau mengompas orang. Mereka berdua dan teman‑temannyalah yang paling
bersemangat menghajar Sukro di malam itu. Maling berteriak maling, maling
menghajar maling.
Sedangkan Prakoso, pemuda yang baru
lulus ujian sabuk hijau, dengan bangga bercerita kepada teman‑temannya,
terutama pacarnya, tentang kisah keberaniannya menangkap maling. Bagaimana ia
memburu maling dan mengepungnya bersama orang banyak. Dan tidak ketinggalan
pula diceritakan bagaimana tendangan putarnya berhasil merobohkan si maling.
Sukro dijatuhi hukuman tiga bulan
kurungan. Malang nasibnya. Tapi masih ada satu orang yang kasihan dan mau
membantu kesulitannya. Seluruh ongkos perawatan dan operasi istrinya ditebus
oleh Pak Erwe. Tuhan, ampunilah dosa‑dosaku selama ini. Inilah sebagian uang
rakyat yang kukembalikan kepada mereka, bisiknya lirih dalam hati.