SINOPSIS
by:teguht
Bercerita tentang dua pengamen kecil, yang putus sekolah selama tiga tahun. Semenjak ayah mereka meninggal, yang waktu itu Tania masih berumur delapan tahun dan Dede tiga tahun, kehidupan keluarganya kalang kabut. Mereka tidak lagi bisa mengontrak rumah, karena sudah menunggak tiga bulan, tidak mampu membayar. Akhirnya, mereka hanya kuasa tinggal di rumah kardus di bantaran sungai, tinggal bersama ibunya.
by:teguht
Bercerita tentang dua pengamen kecil, yang putus sekolah selama tiga tahun. Semenjak ayah mereka meninggal, yang waktu itu Tania masih berumur delapan tahun dan Dede tiga tahun, kehidupan keluarganya kalang kabut. Mereka tidak lagi bisa mengontrak rumah, karena sudah menunggak tiga bulan, tidak mampu membayar. Akhirnya, mereka hanya kuasa tinggal di rumah kardus di bantaran sungai, tinggal bersama ibunya.
Hari-harinya
dihabiskan untuk mengamen, tidak lain untuk mendapatkan sesuap nasi, untuk bisa
bertahan hidup, untuk menyambung sepotong masa depan yang samar-samar. Menjadi
anak jalanan adalah sesuatu yang niscaya bagi keduanya. Semua dilakukan untuk
membahagiakan Ibunya, yang semenjak kematian ayah, Ibu sering sakit. Kata
orang-orang, Ibu sakit lebih pada psikisnya.
Pada
suatu malam, saat mengamen juga, kaki Tania tertancap paku jamur di dalam
kereta. Wajar kalau benda tajam mudah sekali menancap di kaki mereka, karena
mereka mengamen tanpa alas kaki, mereka telanjang kaki, tanpa sandal yang bisa
melindungi kakinya dari benda tajam. Tania meringis kesakitan, darah pun
mengalir. Untung saja, ia ditolong seorang Om-om penumpang bus itu, dan
memberikan sapu tangan untuk menyapu darah dan membalut luka di kaki tersebut.
Keesokan
harinya, mereka kembali mengamen. Bukan karena kaki Tania sudah sembuh, tapi
karena mengamen adalah kewajiban mereka jika ingin tetap bertahan hidup. Mereka
mengamen bersama kembali, meski Tania masih berjalan sedikit pincang, menahan
sakitnya kaki yang semalam tertusuk paku jamur itu.
Kembali
mengamen di bus, dan kembali bertemu dengan Om itu lagi. Dan Om itu memberikan
hadiah kepada mereka berdua, sepasang sepatu dengan kaos kakinya. Malam itu
mereka lebih akrab dan mengenal namanya Danar, dipanggil Om Danar. Setelah itu,
Om Danar mengantarkan Tania dan adiknya pulang ke rumahnya (untung sekali Om
tersebut baik sekali dan untung sekali tidak memiliki maksud buruk kepada
mereka).
Setelah
Om Danar berbincang-bincang dengan Ibu mereka, akhirnya Ibu memutuskan Tania
dan Dede kembali bersekolah berkat dukungan Om Danar. Meski begitu, merea
berdua memutuskan siangnya, setelah pulang sekolah hingga waktu Magrib ia
gunakan tetap untuk mengamen.
Akhirnya,
Ibu memutuskan untuk mengontrak rumah. Dan itu semua tentu berkat dukungan Om
Danar. Ibu pun sudah sembuh dari sakitnya. Ibu memulai usahanya, berjualan kue.
Bisnisnya maju dan menjanjikan. Meskipun begitu, Om Danar tetap memberikan uang
kepada Ibu. Sebenarnya Ibu menolak, karena usahanya sudah mulai maju, bisa
mencukupi kebutuhan keluarga dari usaha jualan kue itu. Dan akan menjadi ucapan
bijaknya di halaman-halaman berikutnya, Om Danar selalu mengatakan, “Ditabung saja, kita tidak
pernah tahu apa yang akan terjadi besok”.
Dari
sinilah, rasa antara Tania dan Om Danar bersemi. Dari kisah rumah kardus di
bawah bantaran sungai. Itu hanya dirasakan oleh Tania, tersirat dalam
perasaannya dalam cerita ini. Tidak ada penjelasan ataupun penegasan bagaimana
perasaan Om Danar.
Usia
Dede enam tahun, Tania sebelas tahun dan dia
dua puluh lima tahun. Sebagai hadiah Dede berhasil menyelesaikan Lego,
permainan yang cukup sulit yang dulu dihadiahkan Om Danar ke Dede, dia memutuskan
memberi hadiah denga jalan-jalan di Dunia Fantasi.
Selain
mengajak Tania, Dede dan Ibu, dia
mengajak Kak Ratna. Belakangan diketahui, ternyata Kak Ratna adalah pacar dia. Belakangan
pula, Tania ‘protes’ untuk memanggil Om Danar dengan Kak Danar. Entah karena
menganggap dia
sudah menjadi bagian dari keluarganya atau ingin membuat hubungan antara mereka
lebih dekat menjadi hubungan antara adik dan kakak.
waktu
kemudian, Ibu sakit parah, usaha kuenya terhenti. Dan akhirnya ibu meninggal.
Kini kedua anak itu yatim piatu, menjadi garis penghabisan keluarga, tidak
memiliki siapa-siapa lagi. Hanya ada Kak Ratna dan Kak Danar.
Dari
sinilah muncul kalimat, “Daun
Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin”, dia yang
mengatakannya untuk membujuk Tania dan Dede pulang dari pemakaman Ibunya. “Ketahuilah Tania dan Dede…
Daun yang jatuh tak pernah membenci angin… Tidak sekarang, esok lusa kau akan
tahu artinya… “.
Setelah
kematian Ibunya, Dede dan Tania tinggal bersama dia. Dan akhirnya dia membeli
tanah dan membangun rumah, dan tinggal bersama mereka.
Setelah
lulus SD, Tania berhasil mendapatkan ASEAN
Scholarship, beasiswa SMP di Singapura, lulus dengan nilai terbaik
kedua. Setelah itu, Tania kembali mendapatkan beasiswa SMA di Singapura, lulus
dengan nilai terbaik. Lalu, melanjutkan kuliahnya di National University of
Singapore dengan nilai terbaik.
Kak
Danar juga sudah menjadi GM Marketing di perusahannya. Dede kuliah di
universitas yang dekat dengan rumahnya, walaupun kata Tania sebenarnya Dede
layak mendapatkan satu kursi universitas di negara Tania belajar.
Rasa
cemburu Tania semakin menjadi-jadi. Apalagi ketika mendapatkan kabar langsung
dari dia dan
Kak Ratna kalau mereka akan menikah. Tania sangat terlihat merasa cemburu yang
luar biasa. Sebenarnya banyak sekali cowok yang suka sama Tania, dari cowok
yang Tania anggap menyebalikan, Jhony Chan, hingga cowok yang rela menjadi
‘tukang angkut’ Tania, Adi.
Tapi
entah, perasaan itu sangat kuat untuk dia.
Saat ulang tahu Tania yang ketujuh belas (sweet
seventeen), dia
berencana bersama Dede merayakan ulang tahun itu di Singapura, tentu ini
menjadi sesuatu yang sangat spesial. Ketika dia
hendak pulang di Bandara Changi, memberikan sebuah liontin T untuk Tania. Dan
belakangan diketahui ternyata liontin itu akan sempurna jika disatukan dengan
liontin milik dia,
liontin D. Liontin yang disatukan dengan gambar bunga dan dua daun Linden, daun
yang berbentuk hati.
Di
akhir buku ini, semua potongan cinta itu terjawab di bawah pohon Linden mereka
bertemu. Yang sebenarnya dia
merasakan hal yang sama dengan apa yang dirasakan Tania. Dia sama dengan
Tania, tidak berani mengatakan, mengungkapkan isi hatinya, dan terlanjur
memutuskan cinta yang sebenarnya dia
tidak mencintai Kak Ratna, yang dinikahinya. Saat itu usia tania dua puluh dua,
dia tiga puluh enam. Dan bagaimanapun, daun
yang jatuh tak pernah membenci angin. Sekarang Kak Ratna sudah
hamil empat bulan, dan Tania harus kembali ke Singapura.
Dia memang amat sempurna, tabiatnya,
kebaikannya, semuanya. Tapi dia
tidak sempurna. Hanyalah cinta yang sempurna.